ANAK
ADOPSI MENURUT ISLAM
A. Pengertian
Anak Adopsi
Adopsi adalah
pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas
nasabnya, lalu anak itu dia nasabkan kepada dirinya. Dalam syariat islam, anak
adopsi tidak mendapatkan warisan. Dikarenakan bahwa adopsi tidak mengubah nasab
seoarng anak. Hal ini didasarkan pada Q.S Al-Ahzab : 4-5, yang artinya :
Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu
hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan
Dia menunjukkan jalan. Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah (Q.S Al Ahzab : 4-5)
Sebab turunnya ayat
tersebut dikarenakan dari sebuah kisah yaitu ketika Rasulullah saw, mempunyai
anak angkat Zaid bin Haristsah, suatu ketika ayah Zaid datng ke Makkah dan
meminta kepada beliau agar menjual Zaid kepadanya atau memerdekakannya. Maka
Rasulullah saw pun berkata, “Dia bebas dan boleh pergi kemana dia suka.” Tetapi
Zaid tidak mau berpisah dari Rasulullah saw. Itu sebabnya, maka ayahnya menjadi
marah dan berkata, “Wahai orang – orang Quraisy, saksikanlah bahwa Zaid
(sekarang) bukan anakku lagi,” dan Rasul pun menimpali dengan berkata,
“Saksikan pula oleh kalian bahwa dia sekarang adalah anakku
Secara legal, adopsi atau mengangkat anak dikuatkan berdasarkan
keputusan Pengadilan Negeri. Adopsi secara legal mempunyai akibat hukum yang
luas, antara lain menyangkut perwalian dan pewarisan. Sejak keputusan yang
ditetapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat akan menjadi wali bagi anak
angkat, dan sejak saat itu, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih
kepada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan yang beragama
Islam, bila dia akan menikah, maka yang menjadi wali nikah hanyalah orang tua
kandung atau saudara sedarah.
Adopsi juga dapat dilakukan secara illegal, artinya adopsi yang
dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat
dengan orang tua kandung anak yang diangkat. Adopsi secara illegal inilah yang
disinyalir sebagai celah untuk kasus jual beli anak (trafficking).
Akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak angkat tersebut secara
hukum memperoleh nama dari bapak angkatnya, dan dijadikan anak yang lahir
karena perkawinan orang tua angkat. Akibatnya, seorang anak akan terputus
hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, Oleh karena
itu, secara otomatis, hak dan kewajiban seorang anak angkat sama dengan anak
kandung harus merawat dan menghormati orang tua, layaknya orang tua kandung,
dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung orang tua
angkat.
Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek
pengadilan agama, berdasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang
berlaku di Indonesia Inpres No I Tahun 1991 tangal 10 Juni 1991, menetapkan
bahwa anak angkat ialah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sendiri, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asli kepada
orang tua angkat berdasarkan keputusan pengadilan.
B. Sumber
Hukum
Dasar hukum adanya anak
angkat dalam Islam adalah Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5:
Artinya: “Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan
ayat ini, maka dapat diambil pelajaran sebagai berikut:
1.
Adopsi dengan
praktik dan tradisi di jaman Jahiliyyah yang memberi status kepada anak angkat
sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui
oleh Islam.
2.
Hubungan anak
angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi
yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan baik anak angkat itu diambil
dari kerabat dekat maupun orang lain.
C. Status Anak Adopsi dalam Islam
Yusuf Qardhawi, ulama
kelahiran Mesir tahun 1926 yang sejak tahun 1961 tinggal Doha Qatar, dalam
bukunya Halal dan Haram dalam Islam, menguraikan secara singkat perihal
pengangkatan anak menurut Islam.
Tradisi mengadopsi anak
telah terjadi dari zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak
orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan
namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi
antara anak angkat dan orang tua angkat. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
Prof. Dr. Amir
Syarifuddin dalam bukunya ‘Hukum Kewarisan Islam’ menyatakan bahwa Hukum Islam
tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti
terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam
kekerabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat
anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
Hal itu pernah terjadi
pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang hamba
sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah kepada Nabi Saw untuk
merawatnya. Lalu karena sayangnya Nabi Saw kepada Zaid, beliau mengangkat Zaid
menjadi anaknya sendiri, sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi
Zaid bin Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan
Nasai, dari Ibnu Umar radhiallahu‘anhu : Tidaklah kami memanggil Zaid bin
Harisah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Tradisi jahiliyah
tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara keseluruhan, artinya pengangkatan
anak orang lain menjadi seperti anak sendiri tetap dianjurkan dalam Islam, akan
tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum adopsi yang berlaku pada masa
jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua
angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram.
Untuk pembatalan
kebiasaan jahiliyah tersebut Allah Swt menurunkan ayat 4-5 surah al-Ahzab, dan
peristiwa itu dikenal dengan peristiwa ibthaluttabanni (pembatalan hukum anak
angkat), maka pembatalan itu direalisasikan oleh Nabi Saw dengan mengawini
mantan isteri Zaid bin Haritsah, yang mana sebelumnya orang beranggapan bahwa
isteri Zaid bin Haritsah yaitu Zainab binti Jahsy adalah menantu Nabi Muhammad
Saw. Dengan kata lain, nikahnya Nabi Saw dengan Zainab binti Jahsy pupuslah
anggapan orang tentang Zaid sebagai anak kandung Rasul Saw, dan mulai saat
diturunkan ayat di atas Rasul Saw memanggil Zaid bin Harisah dan berkata :
Engkau adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.
Perkawinan Rasul Saw
dengan Zainab binti Jahsy setelah diceraikan oleh Zaid dan habis masa tunggunya
(iddah), menjadi dasar hukum dalam Fikih Islam untuk tidak memberlakukan anak
angkat seperti anak kandung, dan berlakulah seperti orang lain, namun demikian
tidak pula menutup kemungkinan untuk berbuat baik kepada anak angkat, atas
prinsip tolong menolong, dalam berbuat baik dan ketaqwaan.
Secara panjang lebar
Allah s.w.t. menjelaskan tentang halalnya mengawini bekas isteri anak angkat,
yaitu ketika Rasulullah s.a.w. ragu dan takut bertemu dengan orang banyak
ketika akan mengawini Zainab binti Jahsy, karena Zainab adalah mantan isteri
Zaid bin Haritsah, atau dikenal dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini sebagaimana
difirmakan-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 37 – 40.
Mengangkat anak
hukumnya Haram apabila, nasabnya dinisbatkan kepada orang tua yang
mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya
adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara
tersebut sangat dipuji oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri
oleh Rasulullah SAW. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung
anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah
dan ia renggangkan antara keduanya.’
Laqith atau anak yang
dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan,
bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam
dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha
menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal
ini sebagaimana dikatakan Umar bin Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki
yang memungut anak, ‘pengurusannya berada
di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
Ummat Islam wajib
mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak
yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam
memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara
non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam,
keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut
merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada
non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak
mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT.
Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang
tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang
dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat
adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan
jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal
dunia.
Depag RI, (2002), Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: Depag RI.
Depag RI, (2007), Al-Qur’an dan
Terjemahnya Perkata, Jakarta: Syaamil Al-Qur’an.
Fuad Mohd, Fakhruddin, (1991), Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta,
Pedoman Ilmu Jaya.
Kamisa, (2005), Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia Modern , Jakarta: Balai Pustaka.
Masjfuk Zuhdi, (1993), Masailul
Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung.
http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/makalahstatus-anak-angkat-anak-pungut.html diakses pada tanggal 15 januari 2013.